Plakkk...!!! Tak Bawa UUD'45, Siswa 'Dianiaya' Guru
Berita, News, Pendidikan, Tulakan, Utama 18.35
PACITAN – Meski Indonesia sudah lama merdeka, kekerasan di dunia pendidikan, rupanya masih saja ada. Bahkan, tak jarang, pemicunya adalah hal sepele yang mengundang emosi para pendidik. Seperti yang terjadi di SMPN 1 Tulakan, pekan kemarin. Edi Purwanto, salah seorang guru di sekolah tersebut, terpaksa harus berurusan dengan pihak berwajib, lantaran aksinya yang diduga ‘menganiaya’ salah seorang siswanya.
Sebagaimana dilansir Media Aspirasi, emosi Edi tersulut lantaran Saiful, 15, siswa kelas VIIB sekolah tersebut, tidak membawa buku saku UUD 1945. Saat itu, Edi bermaksud mengajarkan materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). ‘’Awalnya, ada sekitar 20 orang teman-teman diminta (Edi) berjajar di depan kelas karena tidak bawa buku UUD,’’ ucap Saiful.
Saat disetrap itulah, lanjut Saiful, dia bersama belasan temannya ditanya satu persatu, dan ditendang kakinya oleh pak guru Edi. ‘’Tiba-tiba Pak Edi memukul saya di kepala belakang pakai buku, kira-kira tiga kali. Setelah itu, pandangan saya seperti gelap, akhirnya saya pingsan,’’ kenang Saiful, ditemui di rumahnya, akhir pekan kemarin.
Suwandi, ayah Saiful, mengaku bahwa tindakan guru tersebut, seperti menyayat hatinya. Sebab, guru yang diharapkannya bisa menjadi panutan, justru mendidik dengan kekerasan. Meski begitu, Suwandi mengaku ikhlas dan tak ingin berlarut menyimpan dendam. ‘’Saya sadar, saya hanya kerja jadi kuli. Semua ini supaya anak saya bisa sekolah,’’ pilu Suwandi.
Meski begitu, Suwandi menyayangkan jika zaman saat ini, masih ada pendidikan SMP yang mirip dengan pendidikan militer. Apalagi, kekerasan muncul hanya gara-gara siswa tak membawa buku saku UUD 1945. ‘’Saya memang orang bodoh, tapi mbok ya jangan sampai anak saya digituin (diberikan kekerasan, Red),’’ harapnya.
Sebenarnya, Suwandi sempat menglarifikasi kejadian yang menimpa anaknya tersebut. Namun, maksud hati bisa menemui kepala sekolah, Suwandi mengaku hanya dibawa ke ruang guru. Dan di ruang tersebut, dia mengaku seperti terintimidasi. ‘’Saya seperti ditekan dan tidak bisa ketemu kepala sekolah,’’ kenang Suwandi. ‘’Maksud saya sebenarnya hanya ingin menyampaikan kejadian tersebut. Dan saya tidak menuntut,’’ imbuhnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala SMPN 1 Tulakan Joko Sepiantoro mengaku jika ada staf pengajarnya yang melakukan kekerasan terhadap anak didiknya tersebut. Pun, Joko juga mengaku jika kekerasan tersebut, terjadi lantaran ada siswa yang tak membawa buku saku UUD 1945. ‘’Ini bukan kejadian penganiayaan. Karena tugas guru adalah mendidik, mengajar, membina dan melatih. Karena ada siswa melanggar perintah guru, maka mereka dihukum berdiri di depan kelas,’’ elak Joko membela diri.
Menurut dia, dari sekitar 20 siswa yang dihukum tersebut, salah satu siswa bernama Saiful justru membantah apa yang disampaikan pak guru Edi. Saat itu, menurut Joko, Edi tengah membawa buku dan dipukulkan ke semua anak yang terkena hukuman. ‘’Ada tendangan, tapi tidak keras,’’ kilahnya.
Orang nomor satu di SMPN 1 Tulakan ini mengaku, bahwa dirinya seringkali membekali pembinaan terhadap seluruh guru di lembaga pendidikan yang dipimpinnya itu. ‘’Silakan menghukum siswa, tapi jangan sampai secara fisik. Apalagi, ada peraturan tentang perlindungan anak. Saya berharap, kejadian ini tidak terulang kembali, dan perkaranya sudah diselesaikan kekeluargaan,’’ pungkasnya. (bc/dik)
Sebagaimana dilansir Media Aspirasi, emosi Edi tersulut lantaran Saiful, 15, siswa kelas VIIB sekolah tersebut, tidak membawa buku saku UUD 1945. Saat itu, Edi bermaksud mengajarkan materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). ‘’Awalnya, ada sekitar 20 orang teman-teman diminta (Edi) berjajar di depan kelas karena tidak bawa buku UUD,’’ ucap Saiful.
Saat disetrap itulah, lanjut Saiful, dia bersama belasan temannya ditanya satu persatu, dan ditendang kakinya oleh pak guru Edi. ‘’Tiba-tiba Pak Edi memukul saya di kepala belakang pakai buku, kira-kira tiga kali. Setelah itu, pandangan saya seperti gelap, akhirnya saya pingsan,’’ kenang Saiful, ditemui di rumahnya, akhir pekan kemarin.
Suwandi, ayah Saiful, mengaku bahwa tindakan guru tersebut, seperti menyayat hatinya. Sebab, guru yang diharapkannya bisa menjadi panutan, justru mendidik dengan kekerasan. Meski begitu, Suwandi mengaku ikhlas dan tak ingin berlarut menyimpan dendam. ‘’Saya sadar, saya hanya kerja jadi kuli. Semua ini supaya anak saya bisa sekolah,’’ pilu Suwandi.
Meski begitu, Suwandi menyayangkan jika zaman saat ini, masih ada pendidikan SMP yang mirip dengan pendidikan militer. Apalagi, kekerasan muncul hanya gara-gara siswa tak membawa buku saku UUD 1945. ‘’Saya memang orang bodoh, tapi mbok ya jangan sampai anak saya digituin (diberikan kekerasan, Red),’’ harapnya.
Sebenarnya, Suwandi sempat menglarifikasi kejadian yang menimpa anaknya tersebut. Namun, maksud hati bisa menemui kepala sekolah, Suwandi mengaku hanya dibawa ke ruang guru. Dan di ruang tersebut, dia mengaku seperti terintimidasi. ‘’Saya seperti ditekan dan tidak bisa ketemu kepala sekolah,’’ kenang Suwandi. ‘’Maksud saya sebenarnya hanya ingin menyampaikan kejadian tersebut. Dan saya tidak menuntut,’’ imbuhnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala SMPN 1 Tulakan Joko Sepiantoro mengaku jika ada staf pengajarnya yang melakukan kekerasan terhadap anak didiknya tersebut. Pun, Joko juga mengaku jika kekerasan tersebut, terjadi lantaran ada siswa yang tak membawa buku saku UUD 1945. ‘’Ini bukan kejadian penganiayaan. Karena tugas guru adalah mendidik, mengajar, membina dan melatih. Karena ada siswa melanggar perintah guru, maka mereka dihukum berdiri di depan kelas,’’ elak Joko membela diri.
Menurut dia, dari sekitar 20 siswa yang dihukum tersebut, salah satu siswa bernama Saiful justru membantah apa yang disampaikan pak guru Edi. Saat itu, menurut Joko, Edi tengah membawa buku dan dipukulkan ke semua anak yang terkena hukuman. ‘’Ada tendangan, tapi tidak keras,’’ kilahnya.
Orang nomor satu di SMPN 1 Tulakan ini mengaku, bahwa dirinya seringkali membekali pembinaan terhadap seluruh guru di lembaga pendidikan yang dipimpinnya itu. ‘’Silakan menghukum siswa, tapi jangan sampai secara fisik. Apalagi, ada peraturan tentang perlindungan anak. Saya berharap, kejadian ini tidak terulang kembali, dan perkaranya sudah diselesaikan kekeluargaan,’’ pungkasnya. (bc/dik)
JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :
Dikirim oleh Unknown
pada 18.35.
dan Dikategorikan pada
Berita,
News,
Pendidikan,
Tulakan,
Utama
.
Kamu dapat meninggalkan komentar atau pesan terkait berita / artikel diatas